Manekin Gang Aljabri

Manekin berjejer tanpa ekspresi. Gang sempit yang menghubungkan Jalan Alkateri tembus ke Otista ini pernah menjadi saksi sejarah Bandung dan candu opium.

11 Februari 2022, 2 desember 2021.

Dalam setahun terakhir, saya mengunjungi Bandung di dua kali kesempatan. Kesempatan pertama di Desember 2021 setelah saya selesai menghadiri perhelatan forum fotografi internasional di Jakarta, dan kunjungan kedua di Februari 2022 dalam rangka tamasya.

Seperti biasa, berkunjung ke kota lain tidak akan menarik ketika dilakukan hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor. Opsi untuk berjalan menjadi opsi utama ketika ingin menjelajah sebuah daerah. Di dua kesempatan itu, saya mengunjungi daerah-daerah di Bandung mulai dari atas sampai kota, namun satu tempat yang saya kunjungi di dua kesempatan itu adalah sekitaran Jalan ABC.

Mulanya, saya bertanya-tanya mengapa jalan di sebelah utara (kalau tidak salah) alun-alun Bandung ini dinamakan demikian. Dugaan awal adalah karena orang Sunda cenderung lebih suka membuat akronim atau singkatan. Sebut saja cimol (aci digemol), distro (di samping trotoar), Paskal alias Pasir Kaliki, dan tentu saja Otista a.k.a Otto Iskandar Dinata. Benar saja, sedikit menjelajah di blog-blog, rupanya jalan ABC adalah singkatan dari Arabieren, Boemipoetra, dan Chinezen; tiga etnis yang tinggal di sekitaran Pasar Baru akibat peraturan yang pernah diberlakukan di Bandung. Dulu, pemukiman di Bandung dibangun berdasarkan kelompok etnis. ABC straat (Jalan ABC) sudah dipetakan dalam Map of Bandoeng : The Mountain City of Netherland India.

Gang Aljabri dan Madat

Di kunjungan pertama, saya menyempatkan sarapan di salah satu kedai kopi tertua di Bandung, Purnama. Menu yang sederhana dan sepertinya warisan turun temurun, ditambah ramainya masyarakat Tionghoa yang sarapan di sana, tentu tidak akan ragu dengan rasanya. Selepas sarapan, bersama teman-teman yang lain kami berjalan menyusuri jalan Alkateri, ABC, Pasar Baru, Banceuy, lalu finish di Braga.

Papan tanda Kopi Purnama. Berdiri sejak tahun 1930, kopi susu dan roti srikaya masih menjadi menu andalan untuk sarapan.

Dari perjalanan waktu itu, Gang Aljabri adalah sepotong jalan yang paling menarik. Terdapat banyak manekin yang dipajang di banyak titik dalam gang dengan berbagai ukuran. Awalnya ketertarikanku hanya berdasar pada ranah fotografi, bahwa sudut ini menarik secara visual bagi saya. Setelah kembali ke Jogja, saya mendapat informasi bahwa manekin yang ada di sana adalah salah satu saksi sejarah opium di Gang Aljabri.

Di kunjungan kedua, saya kembali menyusur Gang Aljabri untuk mendapatkan foto yang lebih detail tentang manekin-manekin ini. Berbekal informasi dari beragam blog, gang yang terletak di Jalan Alkateri ini merupakan kawasan pemadat (penghisap opium). Di gang inilah para pecandu ini mengonsumsi barang terlarang tersebut. Eman Sudinta dalam blognya menyebutkan bahwa tempat yang disediakan untuk pemadat masih bisa ditemukan sampai tahun 1970-an.

Keramik yang dijual di mulut Gang Aljabri.

Eman menyebutkan, pada tahun 1970-an banyak pasien yang sudah tua dikirim ke Rumah Sakit Immanuel di Jalan Kopo. Ketika ditanya alamat pada pengantar pasien tersebut, mereka mengaku berasal dari Pecinan Bandung. Pecinan ini berada di kota lama, yakni seputar Jalan Alkateri, ABC, Pasar Baru, Suniaraja, dan jalan pecinan lama sendiri.

Merokok opium dikenalkan oleh Belanda. Mulanya merokok opium adalah bagian utama dari kehidupan sosial di kalangan kelas atas Jawa, namun di abad ke-19 semakin menyebar ke buruh yang melayani perkembangan ekonomi kolonial. Cerita tentang madat di Gang Aljabri ditulis oleh Us Tiarsa R. dalam buku “Basa Bandung Halimunan (Ketika Bandung Masih Berembun)”. Dalam bukunya beliau bercerita tentang masa kanak-kanaknya yang tinggal di kota Bandung. Dia bercerita, pernah sepulang bermain bola di Tegal Lega, menyusuri jalan Kabupaten (Dewi Sartika) lurus ke Alun-alun, menyeberangi Jalan Asia Afrika persis di depan Kantor Pos Besar. Di suatu rumah di Gang Aljabri, rumah yang dipagar, terlihat ada encek bertiga yang sedang duduk di balai-balai seperti sakit parah karena badannya kurus kering.

Gang Aljabri Sekarang

Gang Aljabri tidak lagi menjadi tempat bagi para pemadat. Gang ini berubah menjadi sentra barang antik yang mana pada malam hari, tepat di mulut gang ini ada penjual ronde jahe. Bayangan tentang suramnya masa lalu sudah tidak nampak di gang ini, walaupun mungkin berjalan di gang ini di malam hari bukanlah opsi yang akan saya lakukan. Takut manekinnya tetiba bergerak!

Foto dan teks : Anggaresa

Pranala luar :

https://www.wisatabdg.com/2018/08/inilah-asal-usul-nama-nama-tempat-di.html

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started