Berburu Bangunan Lawas di Magelang

Magelang adalah salah satu kota tertua yang ada di Indonesia. Usianya saat ini (Mei, 2022) sudah menginjak di 1.144 tahun. Tentu, semakin tua usia sebuah kota, maka akan semakin banyak pula “tinggalannya”, dan salah satu benda peninggalan yang bisa dijumpai adalah bangunan dan arsitekturnya.

(5/22) Musim kemarau sudah masuk pada waktunya. Pagi hari cukup cerah ketika aku diharuskan untuk ke Magelang, tepatnya di Kecamatan Tegalrejo untuk menunaikan kewajiban pekerjaan sebagai fotografer. Namun sepanjang perjalanan dari Jogja, menembus macet tak teredam lantaran musim mudik belum usai, batinku tidak begitu fokus untuk memotret. Agenda yang sebenernya ngga begitu diagendakan terus terngiang di dalam kepala – sore ini aku harus berjalan-jalan di Magelang.

Sebagai pendaki gunung ketika kuliah, kota Magelang adalah kota yang cukup sering kulalui karena dilewati rute perjalanan motor untuk menuju gunung-gunung yang sering kudaki. Sejak dulu aku merasa Magelang memiliki daya tarik yang cukup kuat, terlebih lantaran aku cukup dekat dengan dunia arsitektur. Lepas bekerja aku langsung menuju kedai kopi milik teman. Sekadar menitipkan tas carrier yang berisi perlengkapan tempur.

Sore pukul 3, kugeber motor menuju alun-alun. Tidak banyak yang kutahu tentang Magelang. Alun-alun Magelang menjadi satu-satunya yang muncul dalam pikiran tentang ke mana kuharus menitipkan motor. Dari sanalah secara acak kumemilih destinasi yang ingin kujelajahi, dan sampailah di Kelurahan Panjang. Betul, itu namanya.

Kelurahan Panjang memiliki letak geografis yang cukup strategis. Tidak sampai lima menit berjalan dari alun-alun, kamu akan langsung bertemu dengan kantor kelurahannya. Terdapat dua sungai yang terlalu kecil untuk disebut sungai namun terlalu besar untuk disebut selokan.

Sungai yang mengalir Kelurahan Panjang atas.

Satu sungai mengular menyusuri Jalan Majapahit, satu sungai mengalir di sebelah timur kelurahan sekaligus menjadi batas wilayah. Kontur wilayah Kelurahan Panjang (bagiku) terbagi dua, wilayah atas dan bawah, seperti kebanyakan tempat di Magelang. Tidak banyak sumber yang bisa dijadikan rujukan untuk menggambarkan kondisi wilayah Kelurahan Panjang (bahkan akun media sosial kepemerintahannya, seperti biasa).

Sungai yang mengalir di perkampungan bawah.

Hal paling menarik di Panjang adalah keanekaragaman bentuk arsitektur rumah-rumah di sana. Masih banyak rumah yang menganut aliran Jengki, tradisional Indonesia, sampai rumah-rumah yang mengandung unsur Art Deco. Beberapa di antaranya terlihat samar, namun kebanyakan masih terawat oleh pemilik rumah.

Rumah tradisional kayu yang masih terawat. Rumah dengan bahan kayu terhitung langka, terutama di perkampungan yang dekat dengan jalan protokol.

Rumah dengan elemen Jengki juga masih cukup banyak. Jengki sendiri masih menyimpan karakter yang eksentrik, bahkan untuk era saat ini. Ciri khusus gaya arsitektur jengki adalah penambahan elemen yang “tidak perlu” yang tidak memiliki fungsi khusus untuk kegunaan bangunan. Entah bentuk atap yang tidak umum, tembok miring, atau seperti dua foto di atas. Bisa saja sebenarnya peneduhnya dibuat lurus, namun seperti itulah letak ke-eksentrik-an Jengki.

Gang di sana sendiri terhitung sempit. Hanya bisa dilalui satu sepeda motor di beberapa titik. Dengan kontur tanah yang tidak rata, tidak semua gang bisa diakses dengan kendaraan beroda.

Jalan setapak menuju Kelurahan Panjang bawah. Terdapat sebuah workshop pengrajin kayu di sebelah kiri.

Selain tradisional dan jengki, tidak jauh dari lokasiku berjalan terdapat rumah-rumah dengan gaya arsitektur Art Deco. Dua ciri utamanya adalah atap datar dan dinding yang melengkung.

Sedikit menyeberang dari Jalan Majapahit, akan bertemu dengan rumah khas Eropa.

Rumah Jengki yang bisa dilihat dari jalan utama.
Tidak mungkin tidak menjumpai bangunan “Indisch” di kota yang dulunya sempat ditinggali orang-orang Belanda.

Kita tentu tidak perlu meragukan pesona alam dari daerah dataran tinggi, terlebih ketika ia diapit oleh banyak pegunungan. Magelang sendiri adalah kota yang hampir dekat dengan gunung-gunung di Jawa Tengah, yaitu Sumbing dan Sindoro di sisi barat laut, dan Merapi dan Merbabu di sisi timur. Magelang juga terletak di tengah dua kota yang cukup besar, yaitu Yogyakarta dan Semarang. Tidak heran Magelang dipilih sebagai wilayah strategis Belanda di masa lalu.

Untuk sementara, perjalanan di Magelang cukup sekian. Di perjalanan selanjutnya, semoga menemukan bangunan-bangunan menarik lainnya.

Foto dan teks : Anggaresa

Pranala Luar

https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2013/05/10/karakteristik-arsitektur-kolonial-belanda-di-kota-magelang/

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started